Virtual Technopark, SURABAYA - Sejak mulai dipasarkan, Starlink belum menunjukkan performa sesuai yang dijanjikan.
Disayangkan layanan yang digadang-gadang memiliki
kecepatan hingga 300 Mbps dan akan dipergunakan di lebih dari 3000 Puskesmas
lebih besar exposure pejabat daripada kualitasnya.
Terbukti saat perkenalan di hadapan para Meteri
Kabinet Indonesia Maju, perusahaan besutan Elon Musk, Starlink mengalami putus
jaringan. Maka agar tidak semakin memalukan, perangkat Starlink yang sudah
terpasang di Puskemas Pembantu Desa Bungbungan, Kecamatan Banjarangkan,
Klunkung, Bali dibongkar.
Performansi yang digembar-gemborkan berbagai pihak
sangat jauh berbeda dengan kenyataan saat pengetesan dihadapan Elon Musk dan
para Menteri. Hal ini perlu diperhatikan pemerintah karena gimmick layanan yang
berkualitas oleh influencer Starlink membuat Masyarakat tidak mendapatkan
informasi yang asli dan sesungguhnya. Melihat performasi yang sudah ditunjukan
Starlink, Direktur Utama PT Remala Abadi (DATA) Richard Kartawijaya sangat percaya
diri dengan produk fiber optic yang tengah dikembangkan perusahaannya. menurut
Richard fiber optic yang akan menjadi tumpuan industri telekomunikasi nasional,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha di Indonesia.
"Setiap teknologi itu memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Asalkan pemerintah memberlakukan perlakuan yang
sama bagi seluruh pelaku usaha telekomunikasi di Indonesia, saat ini kehadiran
Starlink belum menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha telekomunikasi di
Indonesia. Sebab kami memiliki pangsa pasar masing-masing,"ucap Richard.
Richard mengatakan, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dan
kecepatan Starlink seperti sinyal yang tidak stabil karena terhalang pohon atau
gedung, juga sangat tergantung dari cuaca. Sehingga ketika terjadi hujan,
Starlink akan tidak efektif untuk digunakan, apalagi yang butuh jaringan
stabil. Terlebih posisi Indonesia yang berada di daerah tropis dan banyak awan
serta sering diguyur hujan akan mempengaruhi signifikan layanan Starlink.
“Satelit memiliki karakter berbeda dengan fiber
optic. ISP yang menggelar fiber optic tak terpengaruh terhadap cuaca. Kapasitas
broadband yang bisa dinikmati konsumen mencapai 1Gbps. Sehingga konsumen yang
membutuhkan kecepatan tinggi serta stabil, tentu saja akan memilih fiber optic.
Dengan fiber optic maka delay, kecepatan dan kapasitas yang diberikan masih
lebih unggul dibandingkan Starlink. Internet melalui Starlink mungkin hanya
dibeli untuk backup aja atau pelengkap layanan broadband yang sudah ada,” ucap
Richard. Selain itu kata Richard, harga yang ditawarkan penyedia fiber optic
juga lebih terjangkau dari pada Starlink. Biaya langganan Starlink residensial
Rp 750 ribu perbulan. Jika konsumen membutuhkan layanan mobile, Starlink
mematok harga mulai Rp 990 ribu perbulan hingga Rp 7 juta perbulan. Biaya
tersebut belum termasuk pembelian perangkat penerima. Perangkat penerima
standar Starlink dipatok mulai Rp 7,8 juta hingga Rp 43 juta, masih perlu
ditambah biaya-biaya lainnya. Lanjut Richard, biaya langganan fiber optic DATA
sangat terjangkau. Untuk kecepatan Rp 50 mbps, NetHome membandrol dengan harga
Rp 229 ribu. Sedangkan untuk kecepatan 250 mbps, NetHome memberikan harga yang
sangat terjangkau yaitu Rp 399 ribu. Biaya tersebut sudah termasuk instalasi
dan perangkat. First Media juga memberikan penawaran harga yang tak jauh
berbeda dengan NetHome. Untuk layanan broadband kecepatan 50 Mbps, First Media
membandrol dengan harga Rp.276.945. Sedangkan untuk kecepatan broadband 300
Mbps, First Media mematok harga Rp 776.445. Biaya tersebut sudah termasuk
instalasi dan perangkat.
First Media juga memberikan penawaran harga yang
tak jauh berbeda dengan NetHome. Untuk layanan broadband kecepatan 50 Mbps,
First Media membandrol dengan harga Rp.276.945. Sedangkan untuk kecepatan
broadband 300 Mbps, First Media mematok harga Rp 776.445. Biaya tersebut sudah
termasuk instalasi dan perangkat. Dari perbandingan harga tersebut membuktikan
layanan Starlink terbilang sangat mahal jika di bandingkan dengan teknologi
selular maupun fiber optic. Selain karena perangkat space segment yang masih mahal,
biaya peluncurannya pun terbilang tak murah. Apalagi untuk operator satelit LEO
seperti Starlink membutuhkan satelit yang banyak dan umurnya pun tak lebih dari
5 tahun. Karena teknologinya mahal, Richard mengatakan, tak mungkin operator
satelit menjual harga layanannya di bawah harga pokok penjualan. Apabila
harganya terlalu murah maka terindikasi operator satelit termasuk Starlink
melakukan dumping. Dengan perangkat yang saat ini dimiliki dan kapasitas yang
besar, Richard optimis penyelenggara jasa telekomunikasi berbasis fiber optic
mampu memberikan layanan internet yang berkualitas, terjangkau dan merata bagi
masyarakat sesuai cita-cita Menkominfo Budi Arie Setiadi. Sebab saat ini
Menkominfo Budi Arie Setiadi menginginkan pemerataan jaringan broadband di
Indonesia dengan kecepatan minimal 100 mbps.
Sebab saat ini Menkominfo Budi Arie Setiadi menginginkan
pemerataan jaringan broadband di Indonesia dengan kecepatan minimal 100 mbps.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan
judul "Starlink vs Fiber Optik, Siapa Lebih Unggul?",
https://surabaya.bisnis.com/read/20240527/531/1768437/starlink-vs-fiber-optik-siapa-lebih-unggul.